Dalam prakteknya, para ahli hadits sendiri berbeda-beda dalam menilai suatu riwayat, apakah mutawatir atau tidak, shahih atau tidak. Perbedaan penilaian ini disebabkan banyak factor, diantaranya adalah perbedaan dalam menetapkan kriteria kemutawatiran suatu berita, penilaian terhadap personalitas perawi, dan perbedaan dalam hal ushulul hadits.
‘Ulama hadits berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah perawi yang bisa mengantarkan kemutawatiran suatu berita.[ Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.47 ]
Jumhur ‘ulama berpendapat bahwa kemutawatiran suatu berita tidak boleh dikaitkan dengan jumlah tertentu, akan tetapi harus disandarkan pada “sampainya keyakinan yang bersifat pasti” (hushuul al-ilm al-dlaruriy).[ Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.47 ]
Sebagian ‘ulama, diantaranya adalah al-Qadliy Abu Thayyib al-Thabariy, mensyarakatkan jumlah perawi lebih dari empat orang. Jika suatu berita diriwayatkan lebih dari empat orang, maka berita tersebut bisa dianggap sebagai khabar mutawatir.[Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.47 ]
Al-Sam’aniy menyatakan, bahwa pengikut madzhab Syafi’iy menetapkan batas minimal sebanyak 5 orang perawiy. Menurut Abu Manshur, al-Jubaiy juga menganut pendapat ini dengan menganalogkan pada jumlah para nabi yang termasuk dalam ulul ‘azmiy. [Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.47]
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 7 orang karena dianalogkan dengan jumlah ashhabul kahfiy. ‘Ulama yang lain berpendapat bahwa jumlah yang bisa mengantarkan kepada derajat mutawatir adalah 10 orang. Pendapat ini dipegang oleh al-Ashthakhriy. Ada pula yang menentukan sekurang-kurangnya 12 orang. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hudzail dan ulama-ulama lain dari kalangan Mu’tazilah. Sebagian kelompok ‘ulama menetapkan sekurang-kurangnya 40 orang. Sedangkan ulama lain menentukan sekurang-kurangnya 310 orang, dan sebagainya.[ Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.47-48]
Perbedaan dalam menetapkan jumlah perawi tentunya akan berakibat pada perbedaan dalam menetapkan kemutawatiran sebuah berita. Akibatnya, ada suatu berita yang menurut sebagian ‘ulama mutawatir, sedangkan yang lain tidak.
Di sisi yang lain, seluruh ‘ulama sepakat bahwa berita mutawatir harus diyakini (yufiidz al-‘ilm). Jika berita mutawatir harus diyakini, lantas apakah kita akan menyesatkan dan mengkafirkan ‘ulama yang tidak memutawatirkan berita tersebut, karena adanya penetapan kriteria yang berbeda? Tentunya, kita tidak boleh menyesatkan, bahkan mengkafirkan ‘ulama yang menganggap berita yang kita yakini mutawatir bukan sebagai berita mutawatir. Ini bisa dimengerti karena perbedaan pendapat dalam masalah semacam ini merupakan suatu hal yang lazim.
Perbedaan lain berhubungan dengan kaedah-kaedah ushul hadits, misalnya jarh wa ta’diil.
Dalam hal menjarh dan menta’dilkan, minimal ada empat pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adilnya lebih banyak daripada jarhnya. Pendapat kedua mengatakan bahwa ta’dil harus didahulukan daripada jarh. Pendapat ketiga, menyatakan bahwa bila mu’addilnya lebih banyak daripada jarhnya, maka ta’dil harus didahulukan. Pendapat keempat,selama pertentangan antara yang menjarhkan dan menta’dilkan belum bisa dikompromikan, maka ia tetap dalam “perselisihan”.[Bandingkan dengan al-Zaahidy, Taujih al-Qariy, hal.187-193]
Ikhtilaf dalam masalah ushul hadits ini tentunya juga akan berakibat pada perbedaan pendapat dalam menilai sebuah berita, apakah shahih atau tidak. Kadang-kadang ada suatu riwayat dianggap shahih oleh seorang ulama namun dianggap lemah oleh ulama yang lain.
Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Kaum mukmin itu saling menanggung darahnya” Perawi hadits ini, ‘Amru bin Syu’aib mendapatkan hadits ini dari bapaknya dan dari kakeknya. Sebagian ‘ulama hadits menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya. Imam Tirmidziy berkata, “Mohammad Isma’il berkata, “Saya melihat bahwa Ahmad, Ishaq menerima haditsnya ‘Amru bin Syu’aib sebagai hujjah.” ‘Ali bin Abi ‘Abdillah bin al-Madani berkata, “Yahya bin Sa’id berkata, “Menurut kami hadits ‘Amru bin Syu’aib adalah hadits yang lemah.”
Seandainya ada orang menolak riwayat ahad karena dianggap lemah, sementara yang lain menshahihkan, lantas apakah kita akan mengkafirkan ‘ulama yang menolak keshahihan hadits ahad tersebut? Seandainya pendapat yang menyatakan, bahwa hadits ahad wajib diyakini adalah pendapat paling kuat, lantas, apakah kita akan mengkafirkan dan menyesatkan ‘ulama yang menolak hadits tersebut?
Atas dasar itu, pendapat yang menyatakan abahwa hadits ahad harus diyakini merupakan pendapat lemah yang tidak sejalan dengan dalil dan perilaku para ulama hadits.
Dari seluruh penjelasan di atas bisa kita menyimpulkan bahwa, perilaku para ‘ulama hadits sendiri telah menunjukkan dengan jelas bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ushul hadits, termasuk di dalamnya ikhtilaf tentang hadits ahad –apakah menghasilkan keyakinan atau tidak–adalah perbedaan pendapat yang masih diperbolehkan dalam pandangan Islam (ikhtilaf tanawwu’), bukan perbedaan yang diharamkan (ikhtilaf tadldlad). (khabar-ahad.blogspot)
Baca Juga :
* Sekilas Pengertian Hadits Ahad
* Seri Hadits Ahad : Pendapat Ulama Mengenai Khabar Ahad
* Seri Hadits Ahad : Hadits Ahad dan Proses Pengumpulan Al Qur’an #1
* Seri Hadits Ahad : Hadits Ahad dan Proses Pengumpulan Al Qur’an #2
* Seri Hadits Ahad : Argumentasi ‘Aqliyyah
* Seri Hadits Ahad : Celaan Alqur’an Terhadap Keyakinan Yang di Bangun dengan Dzan
Tinggalkan Balasan